بسم الله الرحمن الرحيم Allah s.w.t. memberikan ganjaran sesuai dengan apa yang telah dikerjakan oleh hambanya. Namun ada banyak sekali perbuatan-perbuatan yang amalnya gampang tapi pahalanya besar seperti pahal bagi pencari ilmu, pahala bagi istri yang ta’at dll. Tentunya itu semua menjadi penyemangat kita dalam melaksanakan ibadah, ya walaupun itu termasuk kategori ikhlas yang ke 2 (beribadah karena ingin mendapat pahala) tapi setidaknya kita beramal karena Allah s.w.t. yang penting kita beribadah hanya karena ingin ria, atau ingin mendapatkan hal2 keduniawiyan, itu yang dilarang oleh agama. Namun ada beberapa amalan yang apabila kita kerjakan pahalanya besar atau apabila ditinggalkan akan mendapat adzab tetapi sudah sangat jarang sekali orang ummat nabi muhammad. Apa saja ? 1. Bersiwak Siwak merupakan sunnah nabi Muhammad s.a.w. yang sudah jarang lagi orang-orang mengamalkannya. Padahal nabi Muhammad s.a.w. bersabda: {عن عائشة رضى...

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kali ini saya akan menjelaskan tentang wudhu menurut kitab terjemah
Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad
Al-Husaini. Silahkan dibaca dengan teliti!
WUDHU
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{فصل : وفرائض الوضوء ستّة
النّية عند غسل الوجه}
[fardhunya wudhu ada enam:
pertama: Niat, sewaktu membasuh muka]
Ketahuilah, didalam berwudhu itu terdapat beberpa syarat dan fardhu.
Syarat-syaratnya berwudhu ialah islam, pandai atau cerdik (mumayyiz), airnya
suci mensucikan, tdaim ada mani’ (sesuatu yang mengahalang-halangi atau
yang mencegah) yang dapat dilihat, misalnya berupa
kotoran, atau mani’ syar’iy seperti haidh dan nifas, dan sudah masuk
pada waktunya bagi orang yang dalam keadaan dharurat, seperti perempuan mustahadhah
dan yang kentutnya terus menerus.
Adapun fardhunya wudhu ada enam, seperti telah disebutkan oleh pengarang
diatas. Fardhunya wudhu yang pertama yaitu: Niat. Sebab sabda nabi Muhammad
s.a.w :
انّما الاعمال بالنيّات
“segala
amal itu tidak sah, jika tidak dengan niat”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Niat ini hukumnya fardu dalam bersuci dari hadats, tetapi
tidak wajib dalam menghilangkan najis, menurut qaul (pendapat) yang
shahih. tujuan mencuci najis yaitu menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu
bisa berhasil dengan jalan membasuhnya ; beda dengan hadats. Bersuci dari
hadats itu IBADAH. Jadi membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain.
Demikian kata Imam Rafi’i
Syarat sahnya niat ialah islam. Jadi tidak dianggap sah
wudhunyaorang kafir dan mandinya, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir
itu bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah. Tanpa ada khilaf, yaitu untuk memberatkan
hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali
membasuh sebagian dari wajah atau muka. Sebab membasuh merupakan permulaan
ibadah yang wajib (fardu). Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat
sebelumnya.
Cara berniat orang yang sehat (tidak berpenyakit),
hendaknya berniat dengan salah satu dari tiga perkara ini. Yaitu :
o
Niat menghilangkan hadats
atau bersuci dari hadats
o
Niat agar diperbolehkan
mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh dikerjakan kecuali dengan bersuci
o
Niat fardhunya wudhu atau
niat menjalankan kewajiban berwudhu. Walaupun orangnya masih kecil (anak-anak).
Imam Nawawi berkata didalam Syarah Al-muhadzdzabi : Andaikata orang
tersebut berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat”
yaitu segala sesuatu bergantung pada wudhu, wudhunya sudah cukup. Demikian ini
diterangkan juga dalam kitab At-Tanbih.
Andaikata orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakn “bersuci dari
hadas”, menurut qaul yang shahih wudhunya tidak mencukupi. Sebab bersuci
itu ada kalanya dari hadas dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat
membedakan.
Andaikata orang yang hanya berniat wudhu saja, sah wudhunya menurut qaul
yang ashah, tersebut didalam
kitab At-Tahqiq dan syarah Al-Muhadzdzab. Lain dengan orang yang
mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup mandinya.
Al-Mawardi memebedakan antara wudhu dan mandi. Kalau wudhu tidak ada yang
berlaku selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu berniat
“menghilangkan hadas” dan untuk “membolehkan segala yang menghalang” maka niat
yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-galanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus
menerus kencing, atau perempuan mustahadhah, kalau berwudhu niatnya ialah
untuk membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shahih.
Tidak sah jika ia(orang yang sakit) berniat menghilangkan hadats, sebab
hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak pernah hilang. Ada yang mengatakan : wajib
mengumpulkan antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala
yang menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang permasalahan
Syaratnya niat supaya dianggap sah,
yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats
atau belum, kemudian ia berwudhu karena untuk berhati-hati, setelah itu ia
yakin dia sudah berhadats, maka wuduhunya tidak dianggap sah menurut qaul yamg ashah.
Sebab orang tersebut berwudhu dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa
dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau
belum, kemudian sesudah berwudhu ternyata ia dalam keadaan berhadats maka
wudhunya sah tanpa ada Khilaf. Sebab
yang asal adalah dikira tetatpnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya
yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecendrungan niat masih tetap
kuat terhadap asal yaitu hadas. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallahu-a’lam
Cabang permasalahan
Andaikata orang itu berwudhu, lalu ada
bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada
basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka
wudhunya orang tersebut sah menurut qaul yang shahih. lain kalu
bagian ynag sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbaharui wudhu, maka menurut
qaul yang shahih, tidak mencukupi wudhunya.
Perebedaan pada kedua masalah ini,
yaitu kalau berniat tajdid (memperbaharui wudhu), itu tidak mengandung
niat fardhu. Lain dengan basuhan kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhu boleh
mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhu itu belum sempurna pada
basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua atau
ketiga. Masalah kesalahan dalam beri’tikad tidak membahayakan. Buktinya,
andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama
karena lupa, dan pda rakaat kedua dia bersujud lagi, maka barulah sempurna
rakaat yang pertama dengan sujud kedua itu, walaupun ia sesuatu yang berlawanan
dengan apa yang ia kerjakan. Wallahu-a’lam
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل الوجه}
[Kedua: membasuh muka (wajah)].
Membasuh muka adalah permulaan rukun wudhu yang jelas (tampak
dimata). Allah s.w.t berfirman :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu.”
(Al-Maidah:
6)
Dalam membasuh
muka, diwajibkan meratakan air. Batas-batas muka ialah mulai dari permulaan
bidang dahi hingga ujung dagu untuk ukuran panjang muka. Dan mulai dari telinga
yang satu sampai telinga yang lain untuk ukuran lebarnya. Tempat mengerik
rambut yang ada dikanan kiri dahi tidak termasuk muka. Kedua pelipis tidak
termasuk muka menurut qaul yang shahih, tersebut dalam kitab Syarah Ar-Raudhah.
Namun imam Rafi’i didalam kitab Al-Muharrar merajihkan adanya pelipis
dua itu termasuk bagian dari muka (wajah).
Kemudian, rambut
yang tumbuh pada wajah itu ada dua macam :
o Rambut yang tidak
keluar dari perbatasan wajah.
o Rambut yang
keluar dari perbatasan wajah.
Rambut
yang tidak keluar dari perbatasan muka, ada kalanya yang langka tebalnya dan
ada kalanya yang tidak langka tebalnya.
Rambut yang langka tebalnya seperti rambut alis (kanan dan kiri), lalu bulu
mata, kumis (kanan kiri), dan rambut yang tumbuh pada kedua belah pipi bagian
tepi, yaitu yang berhadapan dengan kedua belah telinga, antar pelipis dan
rambut cambang. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh semua, luar dan dalamnya
menyertakan kulit yang dibawahnya, walaupun lebat. Sebab semua rambut tersebut
termasuk bagian dari wajah (muka).
Rambut
cambang, jika jarang (tidak lebat), kedua-duanya wajib dibasuh, luar dan
dalamnya beserta kulitnya. Dan jika tebal (lebat), wajib dibasuh luarnya saja
menurut qaul yang azhhar.
Andaikata sebagian dari rambut cambang itu dan
yang sebagian lagia tebal, menurut qaul yang rajah, rambut yang
jarang hukumnya sama seperti hukum rambut yang semaunya jarang, dan rambut yang
tebal hukumnya sama seperti hukum rambut yang semuanya lebat. Ukuran mengenai
tebal dan jarangnya rambut ada khilaf. Yang shahih yaitu: rambut
jarang ialah rambut yang kulitnya dapat dilihat dalam majlis omong-omong
(perbicaraan). Rambut tebal ialah rambut yang tiada kelihatan oleh pandangan
mata pada kulit yang ditumbuhinya.
Macam
rambut kedua ialah rambut yang keluar dari batas wajah, yaitu rambut jenggot,
rambut cambang, rambut kepala, rambut yang tumbuh ditepi pipi (di hadapan
telinga), dan rambut pucuknya kumis, yang memanjang maupun melebar. Menurut qaul
yang rajih, wajib membasuh
luarnya saja. Sebab dengan membasuh luarnya saja sudah boleh digunakan untuk
bertatap muka dengan orang lain. Ada yang mengatakan: Tidak diwajibkan
membaushnya, sebab rambut-rambut tersebut sudah keluar dari batas-batas wajah.
Imam
Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata : Wajib
membasuh sebagian dari kepala, leher dan bawah dagu bersamaan dengan membasuh
mukanya. Maksudnya agar nyata pemerataan airnya. Andaikata seseorang dipotong
hidungnya atau mulutnya, ia wajib membasuh aoa yang kelihatan dari bekas
pemotongan itu, sama ada dalam berwudhu ataupun mandinya, menurut qaul yang
shahih. Sebab apa yang tampak itu telah berubah menjadi bagian luarnya
wajah. Juga wajib membasuh apa yang tampak kemerah-merahan pada kedua bibirnya.
Dan disunnatkan hendaknya mengambil air untuk wudhu dengan kedua-dua belah
tangan.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{وغسل اليدين مع المرفقين}
[ Ketiga : membasuh
kedua tangan beserta sikunya ]
Sebab
firman Allah Ta’ala :
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua tanganmu
beserta sikunya”
(Al-Maidah: 6)
Lafadz
Ilaa itu ada yang menggunakan arti mushahabah (serta), seperti
lafadz ilaa yang terdapat dalam firman Allah:
مَنْ اَنْصَارِى إِلَى اللهِ
“siapakah yang
akan jadi para penolongku beserta Allah”
(Ali Imran: 52)
Dalik bahwa Ilaa diatas
menggunakan arti mushahabah (serta), yaitu Hadits yang diriwayatkan
sahabat Jabir r.a. Beliau berkata:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلّم
يدير الماء على المرافق
“Aku
pernah melihat Rasulullah s.a.w. memutar-mutarkan air pada siku tangannya.”
Hadits ini diceritakan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan dua orang ini
tidak menganggap dha’if pada hadits diatas. Dan diberitakan bahwa
Rasulullah s.a.w. pernah memutar-mutarkan air pada siku tangannya dan bersabda:
inilah Wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali
dengan wudhu seperti ini.
Orang berwudhu wajib meratakan air keseluruh rambut dan kulit, sehingga
sekiranya dibawah kukunya terdapat kotoran yang boleh mengahalang-halangi
sampainya air pada kulit itu, maka wudhunya tidak sah. Dan shalatnya menjadi
batal karenanya. Wallahu-a’lam.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{ومسح بعض الرأس}
[Keempat: Mengusap sebagian kepala]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Hendaklah kamu mengusap kepalamu”
(Al-Maidah: 6)
Yang dimaksud ayat ini, bukannya mengusap keseluruhan kepala. Sebab sebuha
hadits yang diberitakan dari shahabat Al-Mughirah r.a. bahwa Rasulullahn s.a.w
pernah berwudhu dengan mengusap ubun-ubunnya serta sorban dan kedua muzahnya
(semacam sepatu tinggi). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Lain dari pada itu, oarng yang melakukan tangannya diatas kepala anak
yatim, boleh juga dikatakan: Mengusap kepalanya.
Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban dalam berwudhuk ialah apa saja yang
boleh disebut mashi (mengusap), walaupun hanya sebagian dari sehelai
rambut atau sekedar tempat rambut pada kulit kepalanya. Adapun syaratnya rambut
yang diusap, haruslah rambut yang tidak keluar dari batas kepala seandainya
orang tersebut memanjangkan rambutnya karena keriting.
Menurut qaul yang shahih, tidak mengapa andaikata rambut yang
dipanjangkan itu melewati batas kepala. Andaikata orang itu membasuh kepala
sebagai ganti mengusap kepala, atau memercikan air di kepala tadi tetapi airnya
tidak mengalir, atau meletakkan tangannya yang sudah ada airnya tetapi tidak
menjalakan tangannya, amaka mencukupilah wudhunya menurut qaul yang shahih.
Imam Nawawi didalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah berkata:
mengusap kepala tidak semestinya menggunakan tangan. Akan tetapi boleh menggunakan
kayu atau sobekan kain dan lain-lain. Andaikata orang lain yang mengusap
kepalanya, sudah cukup. Orang perempuan dalam masalah mengusap kepala ini, sama
dengan orang laki-laki.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والخامس غسل الرجلين مع الكعبيمن}
[Kelima: membasuh
kedua kaki beserta mata kaki]
Sebab firman Allah s.w.t. :
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan hendaklah kamu
membasuh kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(Al-Maidah: 6)
Kalau menurut Qiraah yang membaca nashab lafadz ‘arjula’, kewajiban
membasuh kaki sudah nyata. Takdirnya : Waghsiluu arjulak . Kalau menurut
Qiraah yang membaca jar ‘arjulikum’, maka sunnat Rasulullah
s.a.w. telah menunjukan kewajiban membasuh. Andaikata mengusap kaki
diperbolehkan, tentu Rasulullah s.a.w sudah menerangkan, walaupun hanya sekali
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi pada selain kedua kakin ini.
Imam Nawawi didalam Syarah Muslim berkata : Para ulama sudah sepakat
mengenai apa yang dimaksud dengan kedua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak
menonjol diantara betis dan telapak kaki, dan pada tiap-tiap sebelah kaki
terdapat kedua mata kaki. Orang-orang dari golongan Rafidhah (Syi’ah sesat )
telah menyimpang dari maksudnya ayat ini, semoga Allah Ta’ala mengeji pendapat
golongan Rafidhah itu. Mereka (Rafidhah) mengatakan : Pada setiap kaki terdapat hanya satu mata
kaki, yaitu tulang yang terdapat pada punggung telapak kaki. Demikian ini telah
diberitakan dari Muhammad bin Hasan. Akan tetapi ini tidak benar. Hujjah
yang digunakan para Ulama yang menetapkan bahwa pada setiap kaki terdapat dua
mata kaki, ialah apa yang mereka nukil dari Ulama Ahli Lughat (bahasa) dan Ahli
ilmu Itsyiqaq. Hadist shahih yang kita bahas disini juga telah
menunjukan bahwa pada setiap sebelah kaki terdapat dua mata kaki. Sebab didalam
Hadits tersebut ada kata-kata.
فغسل رجله اليمنى الى
الكعبين , ورجله اليسرى كذلك
“Lalu beliau membasuh
kakinya yang kanan hingga kedua mata kaki dan begitu juga beliau membasuh
kakinya yang kiri.”
Jadi Hadits ini telah menetapkan dua mata kaki pada setiap kaki.
Aku (Imam Taqiyuddin) hendak katakan : hadistnya An-nu’man bin Basyir r.a.
sudah jelas mengandung arti bahwa setiap kaki terdapat dua mata kaki. An-nu’man
berkata: Rasulullah mengatakan kepada kita:
أقيموا فرايت الرجل
منّا يلصق منكبه بمنكب صاحبه وكعبه بكعبه
“Rapikan barisanmu! Lalu aku melihat setiap
seorang diantara kita merapatkan bahunya
pad bahu temannya, dan merapatkan mata kakinya pada mata kaki temannya.”
(Riwayat Bukhari)
Sudah maklum bahwa yang dimaksud Hadits tersebut ialah mata kaki yang
berupa tulang persendian kaki. Dan tidak cocok, kalau mata kaki di situ adadlah
mata kaki yang terdapat pada punggung telapak kaki. Wallahu-a’lam.
Dan ketahuilah, bahwa membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki itu
wajib, jika orangnya tidak bermaksud mengusap muzah (semacam sepatu).
Bacaan jar pada lafadz ‘arjulikum’, itu barangkali diperuntukan bagi
orang yang mengusap muzahnya. Orang yang berwudhu wajib membasuh seluruh kedua
kakinya dengan air. Dan air tersebut juga harus merata kesemua kulit dan
rambut, sehingga wajib pula membasuh kulit yang pecah-pecah.
Andaikata orang yang meletakan lilin atau pacar di celah-celah kulit kaki
yang pecah pecah itu, maka wudhunya tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah.
Jadi lilin dan pacar itu harus dihilangkan dahulu. Demikian juga harus
menghilangkan tahi nyamuk manakala orang itu bangun dari tidurnya. Maka dari
itu, hendaklah orang mau menjaga hal-hal yang seumpama tahi nyamuk tersebut.
Jadi andaikata oarang itu berwudhu lalu lupa menghilangkan tahi nyamuk itu, dan
baru diketahuinnya sesudah berwudhuk, maka ia wajib mencuci tempat tahi itu dan
kembali mencuci anggota sesudahnya lagi. Dan wajib pula mengulangi shalatnya.
Wallahu-a’lam.
Cabang permasalahan
Andaikata ada orang yang berkumpul padanya hadas kecil, Yaitu wudhu dan
hadas besar, yitu mandi, maka ada khilaf yang tersebar diantara para
ulama, dan qaul yang shahih dan sudah difatwakan, cukup membasuh (mandi)
seluruh tubuhnya dengan niat mandi. Tidak wajib mengumpulkan wudhunya dan
mandinya, dan tidak pula wajib tertib dalam wudhu dan mandinya.
Berkata Syaikh Abu Syuja’ :
{والترتيب على ما ذكرناه}
[Keenam : ialah tertib].
Kefardhuan tertib ini juga diambail dari ayat Al-Qur’an, yaitu apabila kita
dikatakn wawnya lafadz yang di‘athafkan tersebut bermakna tertib.
Dan apabila tidak, maka kefardhuan tertib diambil dari perbuatan dan sabda
Rasulullah s.a.w. Sebab tidak pernag terdengar oleh kita, melainkan wudhunya
Nabi pasti dengan cara tertib.
Selain dari pad itu, Rasulullah s.a.w pernah bersabda seusainya dari wudhu:
هذا وضوء لا يقبل
الله الصلاة الاّ به
“inilah wudhu, yang mana Allah tidak akan menerima
shalat seseorang kecuali dengan wudhu yang seperti ini.”
(Riwayat Bukhari)
Lain dari pad itu, wudhu itu termasuk ibadah yang apabila dalam keadaan
uzur, dikembalikan pada separuhnya (yaitu tayammum). Jadi dalam wudhu,
diwajibkan tertib sebagaimana dalam shalat. Maka seandainya orang yang berwudhu
lupa menjalankan tertib, wudhunya tidak sah, sebagaimana halnya kalau lupa
membaca Al-Fatihah di dalam shalat atau lupa bahwa ada najis pad aatubuhnya.
Cabang permasalahan
Seseorang yang
selalu mengeluarkan sesuatu yang basah, dan yang basah itu mungkin saja air
mani dan mungkin saja air madzi, dan orang itu tidak tahu persis apa itu air
mani atau madzi. Apa yang menjadi kewajiban orang tersebut ? Ada khilaf yang tersebar diantara para ulama. Khilaf ini
sudah saya (Imam taqiyuddin ) tulis didalam salah satu kitab karanganku, lebih
dari tiga belas qaul ; dan yang rajih didalam kitabnya Imam
Rafi’i dan kitab Ar-Raudhah, yang tersebut boleh memilih. Memilih mani
lalu mandi. Dan boleh memilih madzi lalu mencuci cairan yang terkena pada
tubuhnya dan pakaiannya dan kemudian berwudhu. Sebab kalau orang itu menganggap
madzi, dan kemudain berwudhu, berarti dia sudah memenuhi sesuatu yang
membutuhkan wudhu. Jadi hadas kecilnya hilang, sementara hadas besarnya masih
tetap diragukan. Padahal asalnya, hadas besar tidak ada. Demikian juga apabila
orang tersebut mandi.
Ada yang
mengatakan: Orangnya wajib berhati-hati. Sebab orang tersebut yakin dirinya
menanggung salah satu dari dua hadas dan dia tidak bisa lepas dari tanggungan
itu kecuali dengan yakin pula, yaitu dengan berahti-hati. Seperti, kalau orang
itu mempunyai tanggungan satu shalat diantara dua shalat, dan dia tidak mengetahui
dengan nyata shalat yang mana satu yang menjadi tanggungannya, orang yang
demikian wajib mengerjakan kedua-dua shalat sekali. Qaul ini kuat, dan
diunggulkan oleh Imam Nawawi rahimahullah didalam syarah kitab At-Tanbih
dan kitab Ru’usul Masa’il karangan beliau. Wallahu-a’lam.
Demikian penjelasan tentang fardhu-fardhu wudhu dalam
kitab terjemah Kifayatul Akhyatr karangan syaikh Imam Taqiyuddin Abubakar bin
Muhammad Al-Husaini
Bila ada yang ditanyakan mohon isi dikomentar, dan jangan
lupa ikuti blog saya supaya kalian semua bisa mendapat pemberitahuan jika saya
sudah ada postingan terbaru.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Comments
Post a Comment